11.10

Iya mungkin temen niru gus dur


Buku ini merupakan renungan dari Mohammad Sobary, seorang sahabat almarhum Gus Dur (sapaan akrab KH Abdurrahman Wahid). Jejak perjalanan Gus Dur - yang pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan presiden, ini dari usia muda hingga tua dihimpun dalam tujuh belas tulisan.
Diceritakan dajam buku ini, sejak usia belia Gus Dur telah melalap karya-karya pemikir "berat" seperti Karl Marx, Das Kapital, Communist Manifesto dan The Gqrman Ideology karya gabungan Marx dan Engels serta What to Bc Done dari I-cnin. Gus Dur mencicipi filsafat ekonomi dan teori perjuangan kelas dari buku-buku ini. Selain bacaan "berat" dia juga suka membaca novel seperti karya Tolstoy terutama War and Peace drama-drama Pushkin dan Gogol serta ccrpon-ccrpcn Checkov.
Tak ketinggalan karya Hemingway, A Farewell to Arms dan For Whom The Bell Tolls serta filmnya The Old Man and the Sea (hal. 22-23).
Saat nyantri di pesantren pun, Gus Dur tetap membaca buku-buku pemikir barat di sampig belajar hadist. Ketika seorang santri melihat Gus Dur memegang novel, ia pun bertanya "13aca kitab cipa Man (Abdurrahman)?" tanya santri itu.
"Hadist," jawab Gus Dur enteng. "Hadist apa begitu," tanya santri lagi. "Hadist Amerika," jawabnya tenang. "Amerika?" tanya santri heran. "Hadist ini berbahasa Inggris," jelas Gus Dur. "Hadist ya bahasa Arab, Man," bantah santri. "Yang Arab ada, tapi yang Amerika juga ada. Islam itu luas," terang Gus Dur makin jahil (hal. 30-31).
Gus Dur sedari muda menyadari bagaimana mengapresiasi warisan budaya masa lalu. Misalnya, saat mengunjungi Candi Borobudur untuk pertama kali, Gus Dur yang lagi terpsina menyaksikan karya besar dan monumental itu bcrgu-man "begini besarnya anugerah Gusti kepada tanah Jawa. Biarpun yang menjadi perantara itu wangsa Syailcndra, jangan lupa, kaum muslimin muslimatmenikmati manfaatnya yang besar." (hal. 65-66).
Bicara negara dan humor itu sama seriusnya bagi Gus Dur. Humor merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaan yang kompleks, ruwet dan mendalam. Tanpa humor, tanpa puisi, hidup jadi sunyi senyap. Bila begini, transaksi resmi, atas nama kantor, atas nama pemerintah, atas nama negara, atas nama kemanusiaan, atas nama keadilan, atas nama nabi-nabi dan para rasul, bahkan juga atas, nama Tuhan, menyimpang karena disim engkan, menjadi untuk diri sendiri. Yudistira Adnyana Dosen KISrP Universitas Ngurah Rai di Denpasar Alumnus Pascasarjana

Cerpen Ala Santri

Azan subuh. Johan menggeliat dalam tidurnya, memperbaiki posisi bantal di bawah kepalanya. Terdengar bunyi kelentang beruntun. Dia tersentak dan terduduk dengan kantuk yang masih menggantung. Selain azan, lamat-lamat didengarnya suara berisik seseorang.

“Qum! Ayyuhaa, Qiyaaman!”

Bahasanya seperti kukenal, pikirnya. Bahasa Arab!

Mata Johan melebar, memandang sekeliling ruangan. Tak ada perabotan. Hanya lampu pijar yang menggantung di langit-langit. Dia menggeser duduknya dan menyadari dirinya berada di atas selembar tikar.

“Mati aku!” Johan menepuki dahi, lalu melompat dari duduknya. Dibukanya pintu dan mengintip keluar. Masih gelap.

“Ini semua salah Arif,” gerutunya. “Juga Papa dan Mama. Dela pun ikut-ikutan.” Johan mengerang pendek.

Papa dan Mama mengajaknya pergi menjenguk Arif, sepupunya, di Pesantren Darularafah. Dela, adiknya, ikutan memaksanya. Mereka pun pergi bersama keluarga Arif dengan dua mobil. Waktu itu hari mulai merangkak senja. Sebelum pulang, Johan pergi ke kamar mandi, buang air besar. Dia lupa memberitahukan keluarganya. Usai buang air, kedua keluarganya sudah tidak ada. Dia menunggu di ruang tamu, berharap mereka segera kembali menjemputnya.

“Sungguh teganya, teganya, teganya,” sungut Johan. Dia keluar dari ruangan dan bergegas menuju asrama, tempat Arif tinggal.

“Akhii!” panggil seseorang.

Telinga Johan berjengit. Dia berbalik, melihat pemanggil berpakaian haji. Dia mereka-reka, mungkin orang itu yang disebut Arif sebagai mudabbir, pengurus asrama.

“Ayna tadzhab?” tanya orang itu.

Johan tidak tahu harus menjawab apa, tapi dia benar-benar ingin menjumpai Arif.

“Ngg…sa-ya mau ke tem-pat A-rif, Bang,” jawabnya, gugup.

“Ayyu fashlin, Anta?” tanya orang itu lagi. Johan melongo dan menggeleng lirih.

“Sa-ya nggak ngerti, Bang.”

Sebelah alis orang itu terangkat, melihat Johan dari ujung rambut ke ujung kaki.

“Kamu kelas berapa?” tanya orang itu dengan nada pelan. “Dan mau ke mana?”

“Oh, saya bukan santri, Bang. Saya mau ke asrama Mekkah, menjumpai Arif, sepupu saya.”

“Loh, kok bisa kamu ada di sini?”

Johan menggaruk kepalanya sambil nyengir ringkas. Aduh, malu aku menjawabnya, katanya dalam hati.

“Ngg…gini, Bang…saya…tak sengaja ditinggal keluarga.” Akhirnya Johan mengakuinya juga.

“Wah, pasti kamu anak nakal. Tapi, di sini bukan dinas sosial atau panti asuhan. Harus ada prosedurnya untuk nyantri di sini.”

Sialan, pikir Johan. Dikiranya aku anak terlantar apa.

“Iya, Bang. Selesai subuh aku akan pu…” Johan merogoh saku belakang celananya dan wajahnya pias. Ke mana dompetku, pikirnya. “…ngg, boleh saya ke tempat Arif, Bang? Sepertinya dompetku hilang.”

“Ya, sudah, pergilah. Jangan lupa pakai sarung ke masjid.”

Apa hubungannya dengan sarung, pikirnya. Johan mengangguk, lalu meluncur ke asrama Arif.

“Assalamualaikum, Jo!” Arif mendatangi Johan yang menunggu di depan kamarnya. Wajah cerahnya dibasahi air wudhu. “Kok nggak pulang? Betah, ya?”

“Kum salam,” jawab Johan, malas. “Betah, kepalamu!” sungutnya kemudian. “Aku ditinggali di ruang tamu.”

Arif tertawa geli.

“Malah ketawa lagi,” kata Johan, jengkel. “Sehabis subuh aku mau balik ke rumah. Pinjami aku duit. Dompetku, entah di mana pula aku letak.”

“Bah, duit di tanganku tak ada. Adanya di tabsan, tabungan santri.” Arif kembali tertawa. “Kalau kau mau, ya…tunggu bakda zuhur, baru bisa diambil.”

“Serius?”

Arif mengangguk sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf “V”. Bahu Johan merosot dengan kepala tertunduk lesu.

“Wudhu sana,” kata Arif. “Kita sholat subuh berjamaah di masjid.”

Johan pergi ke kamar mandi dengan langkah malas.

Puluhan santri mengantri di depan sepuluh keran dari satu bak berukuran besar. Johan bersungut-sungut menunggu giliran.

“Ayo, sholat,” ajak Johan setelah berwudhu. Arif menyerahkan sarung padanya dan menunjuk santri lain dengan kepala.

“Semua pakai sarung kok,” kata Arif, melihat penolakan Johan. Dia mengajari Johan membuat lipatan sarung di pinggang, tapi karena waktu mepet, lipatan sarung di pinggang Johan membengkak mirip bungkusan permen.

Usai sholat subuh, Johan kebingungan sendiri.

“Ikut aku aja,” ajak Arif. “Balik ke asrama, tadarusan.”

“Apa? Tadarusan? Baca Al-Quran maksud kau?”

Arif mengangguk, “Kenapa?”

“Kau tahu kan, aku nggak bisa baca Al-Quran. Iqra aja aku belum tamat,” bisik Johan, malu-malu.

Arif geleng-geleng kepala sambil berkata, “Nanti kuajari.”

***

Johan menenteng piring pergi ke dapur santri. Badannya dibanjiri keringat usai bermain bola. Arif memaksanya keluar dari lapangan untuk sarapan, karena jam sarapan hampir usai.

“Apa setiap hari seperti ini, Rif?” tanya Johan. Arif mengangguk. “Kok bisa betah kau?”
“Aku senang di sini,” jawab Arif. “Antrian menguji kesabaran dan sabar adalah kunci penting menuju kesuksesan. Ashobru yuinu ala kulli amalin. Apa pun kegiatan yang dilakukan santri di sini, semua membentuknya menjadi pribadi yang tangguh, mandiri dan beriman. Kalau pun ada santri yang nyeleneh seusai nyantri, ya, itu kembali pada pribadinya masing-masing.”
Johan membenarkan ucapan Arif. Wudhu saja harus antri, pikirnya. Benar-benar menguji kesabaran.
“Kayaknya cacing di perutku mulai bertindak anarkis nih,” bisik Johan.
Arif menyikut Johan.
“Kau harus pulang. Lama-lama di sini, kau mengurangi jatah makan kami pula nanti,” candanya.
“Ini yang kau sebut makan?” Johan mengangkat sepotong ikan asin dan memperlihatkan nasi yang berlumuran minyak sambal, lalu melenguh pendek.

***

Johan duduk di pinggir lapangan bola dengan kelesuan yang memuncak. Petugas tabsan tidak masuk, penggantinya pun tidak ada. Orang tuanya juga belum datang menjemput.

“Maaf ya, Jo,” sahut Arif yang datang menghampirinya. “Aku nggak bisa membantumu.”

“Laba sa, nggak apa-apa.”

“Eh, pandai pula kau berbahasa Arab?”

Johan tersenyum simpul. Dia mendapat banyak kosa kata bahasa Arab seharian tadi. Kemudian dia tergelitik membayangi dirinya belajar di dalam kelas. Arif memaksanya masuk. Spontan dirinya menjadi pusat perhatian dan interogasi para pengajar. Menyenangkan, sekaligus menyedihkan. Dia sedih karena tak bisa menjawab hukum menjawab salam, meski ditanya pakai bahasa Indonesia.

“Mau ke mana kau?” tanya Johan.

“Latihan silat.”

“Ada juga ya?”

“Apa yang nggak ada di sini? Mulai dari olah raga, musik, bela diri, teater, pramuka, komputer, kaligrafi dan public speaking alias pidato tiga bahasa juga ada. Kau tinggal pilih kegiatan apa yang kau senangi. Kau pikir santri bisanya cuma ngaji?”

“Bah, kenapa tak kau bilang dari dulu?”

“Kau sendiri yang tak mau tahu.”

Johan mencibir, “Bagaimana nasibku sekarang? Tak mungkin aku di sini terus. Ketahuan kalau ilmu agamaku setinggi toge, kecuali…”

“Sepertinya penyelamatmu datang,” potong Arif. “Lihat.” Dia menunjuk mobil yang diparkirkan dekat lapangan basket.
Ekspresi Johan datar melihat mobil orang tuanya.

“Tak suka?” tanya Arif.

Johan terdiam sesaat.

“Terus terang, tinggal di sini memang tidak menyenangkan,” kata Johan. “Aku tidak suka. Untuk waktu yang singkat, kakiku ingin segera meninggalkan pesantren dengan keceriaan, tapi hatiku berkata tidak. Lingkungan pesantren menahan langkahku. Ada sebagian jiwaku yang kosong, dialiri kesejukan dari pengalaman menjadi santri sehari. Pengalaman itu membuatku berpikir, pulang ke rumah atau menetap, belajar di sini. Memang belajar bisa di mana saja, tapi akan berubah menjadi pilihan, ilmu apa yang akan diajarkan. Kau tahu apa yang menjadi pilihanku?”

PENGERTIAN IJTIHAD

Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka
tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya
dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya
tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang
orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan
para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad
adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal
dengan "mashlahat."

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua
kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.
Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara' (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
(faqih), bukan yang lain.

2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,
yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
hukum khuluqi,

3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas
maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini
komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang
mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,
salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi
pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran
itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.

MEDAN IJTIHAD

Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di
bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?

Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta
perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan
akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:

1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh
nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.

2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.

3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan.

4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).

Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam,
disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan
baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah
memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai
mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.

Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak
berlaku atau tidak dibenarkan pada:

1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
"ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."

Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku
ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan
berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."

Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi
sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam
qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.

2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.

3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
dicerna dan diketahui mujtahid).

Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan
pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad
akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu
berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash

hUmOr aLa sAntRI

Mau MInum APa?

Suatu hari, Udin berkunjung ke rumah Didin, temannya sewaktu sama-sama mondok. Sejak pulang ke rumah tujuh belas tahun yang lalu, keduanya belum pernah sekalipun bertemu. Maklum di samping jarak kota yang berjauhan, ditambah banyaknya kesibukan membuat keduanya tidak berjumpa hingga belasan tahun lamanya.

Seperti sebuah kebetulan, Udin ada urusan yang harus diselesaikan di kota tempat tinggal Didin. Nah, kesempatan ini tak boleh aku sia-siakan, tekad Udin dalam hati.

Setelah semua urusan beres, mulailah si Udin mencari alamat Didin, sahabat yang dirindukannya. Awal mulanya agak sulit karena Didin ternyata sudah pindah alamat, namun dengan tekadnya yang besar, akhirnya bertemulah keduanya.

”Ahlan wa sahlan!!!” teriak Didin begitu melihat Udin di depan pintu. Keduanya berpelukan lama kemudian terlibat dalam obrolan hangat.

”Sebentar” ujar Didin, ”Aku belum Sholat nih! Biar ngobrolnya enak, kau di sini dulu, aku Sholat dulu. Ok?

”Ok. Aku tadi sudah Sholat di Masjid”

“Tomo!” Didin memanggil pembantunya.

“Ya, mas!” Tomo datang menghadap.

“Ini temanku, Ustadz Udin namanya. Aku mau Sholat dulu, tolong layani dia sebaik-baiknya”

“Ya mas!” Didin berlalu…

“Ustadz minum kopi, teh atau susu?”

”Kopi saja”

”Kopinya kopi arab, kopi tubruk, kopi jahe atau…”

”Apa ajalah”

”Pake gula, krim, madu?”

”Gula”

”Pake susu?”

”Boleh”

”Susu sapi, susu onta, susu kambing?”

”Susu sapi”

”Sapi perah, sapi Australi…”

”Sudah-sudah, saya minum air putih saja”

“Merk aqua, ades…”

“Apa aja deh. Terserah kamu!”

”Rasa anggur, strawberry…”

”Gini aja, aku gak minum. Capek pengen istirahat!” tukas Udin kesal sambil meletakkan kepalanya pada sandaran kursi.

Suara GorenGAn ?

Angin sepoi-sepoi menghembus di daerah pegunungan yang cukup dingin dan menyejukan. Hamparan pegunungan indah, hijau dan luas itu melengkapi indahnya panorama desa yang terkenal dengan petani kentangnya.

Namun daerah ini tampaknya kurang mendapat pendidikan agama. Berdasarkan informasi itulah, sekelompok pengurus pesantren dari luar kota dengan menggunakan mobil mendatangi desa tersebut. Mereka langsung menuju rumah tokoh kampung setempat.

“Assalamu’alaikum”, salam mereka. “Wa’alaikumsalam”, jawab Pak Hari. Setelah mereka dipersilahkan duduk, seorang dari mereka memulai pembicaraan. “Pak Hari, tujuan kami datang ke sini untuk menugaskan para santri kami yang ingin melaksanakan study tour ke desa ini”. “Oh iya saya selaku tokoh di desa ini merasa terhormat dan bahagia dengan kabar ini” ujarnya.

Perbincangan pun makin asyik dan hangat. Kegembiraan diantara keduanya terpancarkan dari wajah dan cara mereka berbicara. Hingga sekitar 3 jam lebih mereka berbincang-bincang, namun tidak ada satupun hidangan yang dikeluarkan. Rombongan dari pesantren ini mulai gelisah.

Di tengah-tengah kegelisahan mereka, Pak Hari berkata. “Bagaimana kalau anda sekalian mendengarkan qosidah yang akan saya bawa”. Kemudian dengan nada kesal seorang diantara mereka berkata. “Maaf pak! Bukannya kami tidak mau mendengarkan suara anda yang merdu itu, tapi kami lebih ingin mendengarkan suara ikan anda digoreng.”

MentrI tAhajjuD SianG mALam !!

Dalam suatu acara halaqah di sebuah pesantren di Jawa Timur yang dihadiri para Kiai, seorang menteri yang sangat terkenal datang memenuhi undangan panitia. Konon kabarnya, kedatangan menteri tersebut di samping akan memberikan sambutan juga diharapkan bisa memberikan sumbangan ala kadarnya bagi pembangunan di pesantren.

Selang beberapa menit acara dibuka oleh pemandu acara, tibalah saatnya Bapak Menteri mendapat giliran memberikan sambutan. Seperti biasa dalam acara-acara formal setelah memberi salam dan kata penghormatan secukupnya, Pak Menteri itu sampai pada isi sambutannya.

“Saudara-saudara sekalian yang terhormat,” katanya.
“Meskipun Bapak-bapak Kiai yang ada di sini Tahajjud siang-malam belum tentu lebih mulia dari seorang yang mengerti teknologi,” lanjutnya dengan sangat berapi-api.

Sontak, para hadirin dibikin geger dengan sambutan itu. Menit berikutnya para Kiai satu demi satu meninggalkan ruang pertemuan. Mereka tidak mau mendengarkan sambutan Pak Menteri yang rajin Puasa Senin-Kamis itu.

Usut punya usut ternyata ketersinggungan para Kiai bukan karena Pak Menteri sudah melecehkan keberadaan mereka di mata para Santri. Para Kiai tersinggung karena Pak Menteri salah ucap.

“Mana ada Tahajjud siang-malam,” kata seorang Kiai sambil menggerutu.

SuAra TUHAN !!

Sejak masih muda KH. Amanullah (Tambak Beras) memang terkenal sebagai santri yang cerdik dan banyak akal. Pada waktu masih muda banyak diantara teman-teman santrinya yang suka menjalankan riyadlah’ dengan melakukan puasa, wirid dan sebagainya. Hal ini dilakukan selain sebagai upaya mensucikan kondisi spiritual (batin) juga sebagai upaya memperoleh berkah dari Allah.

Pada suatu hari ada seorang santri yang sedang melakukan riyadlah (olah rohani). Mengetahui hal ini Gus Aman (panggilan akrab KH. Amanullah) bertanya pada yang bersangkutan: “Kapan sampeyan telasan (berakhir) melakukan riyadlah?” Santri tersebut menyatakan bahwa telasannya malam Jum’at. Mendengar jawaban tersebut Gus Aman menyarankan agar wirid telasan dilakukan di sudut imaman Masjid, agar do’anya makbul.

Pada malam yang ditentukan, santri tersebut benar-benar menjalankan saran Gus Aman. Tepat jam 01.00 malam dia wirid dan berdo’a dengan sangat khusu’nya. Diam-diam Gus Aman ngintip dari lubang ventilasi. Kemudian dengan suara yang dibuat bergetar Gus Aman bilang : “njaluk opo ngger?” (minta apa cucuku).

Mendengar pertanyaan ini sang santri langsung teriak sambil menangis : “Ya Allah, kulo nyuwun ilmu ingkang manfa’at, nyuwun akal ingkang padang, nyuwun rizqi ingkang kathah lan derajad ingkang murwat.” (Ya Tuhan, aku mohon ilmu yang bermanfaat, akal yang jernih, rizki yang banyak dan derajat tinggi).

Dengan bergetar Gus Aman menyahut : “Yoh, tak sembadani!” (Ya, aku kabulkan…)

Saking percayanya terhadap suara tersebut, santri ini langsung sujud dan menangis : “Matur nuwun Gusti, matur nuwun,” (Terima kasih…) teriaknya keras-keras. Setelah itu dia melakukan Shalat Sunnah hingga datang fajar.

Siang harinya, ketika Gus Aman lewat di depan santri tersebut, dengan suara bergetar bilang : “njaluk opo ngger.” Mendengar suara ini santri tersebut baru sadar bahwa semalam dia dipermainkan. Paham kalau diejek kemudian dia mengejar Gus Aman sambil membawa pentung.

kYAi biSRi & kYai wAHab !!

Meski sama-sama pemegang fikih yang ketat, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berbeda strategi penerapannya. Kiai Wahab cenderung bergaris lunak, sementara Kiai Bisri bergaris keras.

Suatu hari menjelang Idul Adha seseorang datang menghadap Kiai Bisri. Dia bermaksud melaksanakan kurban dengan menyembelih seekor sapi. Namun sebelumnya dia berkonsultasi dulu dengan Kiai Bisri, apakah boleh berkurban seekor sapi untuk 8 orang? Ketentuan fiqih, 1 sapi untuk 7 orang. Padahal jumlah keluarganya ada delapan. dia ingin di akhirat nanti satu keluarga itu bisa satu kendaraan agar tidak terpencar.

Mendengar pertanyaan tersebut Kiai Bisri menjawab “tidak bisa”. Kurban Sapi, Kerbau atau Unta hanya berlaku untuk 7 orang. Kemudian orang itu menawar pada Kiai Bisri, “Pak Kiai, apakah tidak ada keringanan. Anak saya yang terakhir baru 3 bulan”. Dengan menjelaskan dasar hukumnya, Kiai Bisri tetap menjawab, tidak bisa.

Merasa tidak puas, orang itu mengadukan persoalannya kepada Kiai Wahab di Tambak Beras. Mendengar persoalan yang diadukan orang itu Kiai Wahab, dengan ringan menjawab, “Bisa. Sapi itu bisa digunakan untuk 8 orang, Cuma karena anakmu yang terakhir itu masih kecil, maka perlu ada tambahan.” Mendengar jawaban Kiai Wahab orang itu tampak gembira.

“Agar anakmu yang masih kecil itu bisa naik ke punggung Sapi, harus pakai tangga. Sampeyan sediakan seekor Kambing agar anak sampeyan bisa naik ke punggung sapi.”

“Ah, kalau cuma seekor Kambing saya sanggup menambah. Dua ekor pun sanggup asal kita bisa bersama-sama, Kiai.”

Akhirnya pada hari kurban, orang tersebut menyerahkan seekor Sapi dan seekor Kambing pada Kiai Wahab.

Mbah Sungeb dan aji-aji sampar angin

Di daerah Kandangan Rembang, dulu ada seorang Kiai desa sederhana. Sudah tua tapi aktif sekali. Dimana saja ada peristiwa penting beliau selalu tampak. Misalnya di konferensi NU Wilayah, di muktamar NU. Padahal melihat penampilannya tidak meyakinkan. Sehingga terbetik kepercayaan bahwa Mbah Sungeb mempunyai aji-aji sampar angin.

Suatu ketika, Mbah Sungeb dan beberapa Kiai naik kendaraan umum pulang ke Rembang. Karena kendaraan mogok, mereka terpaksa berjalan kaki. Padahal Rembang masih jauh sekali.

Seorang Kiai ingat, bahwa Mbah Sungeb -konon- punya aji-aji sampar angin. Sambil sama-sama berjalan kaki, Kiai muda itu bertanya, “Kalau pergi ke Situbondo, Semarang, Yogya itu pakai aji-aji apa mbah kok bisa cepat sampai, bisa mendahului yang pakai sedan”. Beliau menjawab seperti sekenanya saja : “li ila”. (ayat li ila fi quraisyin…)

Mendengar itu Kiai lain berkomentar. “Itu tidak ada haditsnya. Yang ada itu Surat Fatihah. Fatihah itu bisa untuk keperluan apa saja. Misalnya kita ingin jalan cepat tanpa capek, baca saja Fatihah.

Kiai lain menengahi. “Begini saja, Mbah Sungeb ini sudah punya “li ila” supaya jalan cepat. Biarkan Mbah Sungeb pakai “li ila”. Sampeyan pakai Fatihah. Nanti saya ikut mana yang paling cepat”.

Baru saja mereka berdebat, tiba-tiba datang seorang anak muda dari belakang naik sepeda motor menegur Mbah Sungeb.

“Mau kemana, Mbah?
“Ke Rembang”
“Mari ikut saya”.

Mbah Sungeb pun lalu membonceng sepeda motor anak muda itu.

Dua Kiai yang lain tetap berjalan kaki. Sambil menahan lelah, Kiai muda tadi bilang kepada temannya, “Ternyata lebih mujarab “li ila”-nya Mbah Sungeb daripada punya sampeyan”.